Ilmu Peteranakan

cHaLiK

Rabu, 07 Juli 2010

LAPORAN PRAKTEK INSEMINASI BUATAN (IB) DI PAKKATTO KAB.GOWA


-->
LAPORAN PRAKTEK INSEMINASI BUATAN (IB)
DI PAKKATTO KAB.GOWA

0LEH :
ABDUL KHALIQ
60700107010





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Reproduksi adalah suatu proses perkembangbiakan pada ternak yang diawali dengan bersatunya sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma) sehingga terbentuk zigot kemudian embrio hingga fetus dan diakhiri dengan apa yang disebut dengan kelahiran. Pada proses reproduksi ini menyangkut hewan betina dan jantan. Secara umum, proses reproduksi ini melibatkan dua hal yakni, sel telur atau yang biasa disebut dengan ovum dan sel mani atau yang biasanya disebut dengan sperma. Ovum sendiri dihasilkan olah ternak betina melalui proses ovulasi setelah melalui beberapa tahap perkembangan folikel, sedangkan sperma diproduksi oleh ternak jantan melalui proses spermatogenesis (proses pembentukan sel gamet jantan atau sperma yang terjadi di dalam testis tepatnya pada tubulus seminiferus).
Pelaksanaan program Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik pada sapi telah dimulai sejak tahun 1950-an. Dalam pelaksanaannya, operasional program inseminasi buatan ditangani oleh seorang petugas inseminator. Tingkat keberhasilan kerja seorang inseminator dapat diukur dengan peningkatan persentase kelahiran anak sapi sehingga membantu peningkatan populasi ternak ini. Karena bibit semen beku jantan yang dipergunakan berasal dari sapi jantan unggul, makaanak sapi yang dilahirkan juga diharapkan memiliki sifat-sifat unggul pula.
Faktor penyebab rendahnya perkembangan populasi sapi adalah manajemen perkawinan yang tidak tepat, yakni: (1) pola perkawinan yang kurang benar, (2) pengamatan birahi dan waktu kawin tidak tepat, (3) rendahnya kualitas atau kurang tepatnya pemanfaatan pejantan dalam kawin alam dan (4) kurang terampilnya beberapa petugas serta (5) rendahnya pengetahuan peternak tentang kawin suntik/IB. Pola perkawinan menggunakan pejantan alam, petani mengalami kesulitan memperoleh pejantan, apalagi yang berkualitas, sehingga pedet yang dihasilkan bermutu jelek, bahkan berindikasi adanya kawin keluarga terutama pada wilayah pengembalaan di Indonesia Bagian Timur.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dilakukan praktik IB (Inseminasi Buatan) untuk mengetahui suatu cara atau teknik manajemen perkawinan yang tepat sesuai dengan kehendak petani dengan berdasar pada potensi atau kehidupan sosial masyarakat pedesaan, yakni teknik kawin suntik dengan IB beku, cair dan pejantan alami yang mantap dan berkesinambungan.

B.     Rumusan Masalah
Adapun yang akan menjadi rumusan masalah dari pelaksanaan praktikum Inseminasi Buatan yang dilakukan di daerag pakkatto kab. Gowa yaitu :
1.         Bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan IB
2.         Bagaimana mekanisme penyerentakan birahi
3.         Apa manfaat dari penerapan Inseminasi Buatan.

C.    Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari praktikum Inseminsi Buatan yang dilaksanakan yaitu :
1.      Mengetahui tata cara dan prosedur pelaksanaan IB
2.      Mengetahui cara atau menkanisme penyerentakan birahi
3.      Mengetahui manfaat dari penerapan IB












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Ejarah Inseminasi Buatan (IB)
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akar cerdinya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut.
Tiga abad kemudian, barulah ada pengamatan kembali tentang reproduksi. Tepatnya pada tahun 1677, Anthony van Leeuwenhoek sarjana Belanda penemu mikroskop dan muridnya Johan amm merupakan orang pertama yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri. Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin jantan tersebut dikenal dengan spermatozoatozoa. Pada tahun berikutnya, 1678, seorang dokter dan anatomi Belanda, Reijnier (Regner) de Graaf, menemukan folikel pada ovarium kelinci.
Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan pada hewan piarann dialkukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi amphibia, yang kemudian memutuskan untuk melakukan percobaan pada anjing. Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi dengan semen yang dideposisikan langsung ke dalam uterus dengan sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk anjing tersebut melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan uang dipakai semennya. Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut diulangi oleh P. Rossi dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan keturunan normal.
Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen terletak pada spermatozoatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya dengan menyaring semen yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal diatas filter mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803, menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan terhadap perpanjangan hidup spermatozoatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda yang dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh spermatozoatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang mendalam terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia sebagai Bapak Inseminasi.
Perkenalan pertama IB pada peternakan kuda di Eropa, dilakukan oleh seorang dokter hewan Perancis, Repiquet (1890). Dia menasehatkan pemakaian teknik tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Hasil yang diperoleh masih kurang memuaskan, masih banyak dilakukan penelitian untuk mengatasinya, salah satu usaha mengatasi kegagalan itu, Prof. Hoffman dari Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar dilakukan IB setelah perkawinan alam. Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan dikuakkan dan dengan spuit diambil semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan kembali diinsemiasikan pada uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang praktis untuk dilaksanakan.
Pada tahun 1902, Sand dan Stribold dari Denmark, berhasil memperoleh empat konsepsi dari delapan kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan IB sebagai suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan dan penyebaran semen dari kuda jantan yang berharga dan memajukan peternakan pada umumnya.
Penanganan IB secara serius dilakukan di Rusia, sebagai usaha untuk memajukan peternakan. Peneliti dan pelopor terkemuka dalam bidang IB di Rusia adalah Elia I. Ivannoff. Tahun 1899 ia diminta Direktur Peternakan Kuda Kerjaaan Rusia, untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan pemakaian IB. Dan dilah orang pertama yang berhasil melakukan IB pada sapi dan domba.
Hasil spektakuler dan sukses terbesar yang diperoleh adalah di Askaniya-Nova (1912) yang berhasil menghasilkan 31 konsepesi yang 39 kuda yang di IB, sedang dengan perkawinan alam hanya diperoleh 10 konsepsi dari 23 kuda yang di IB. Tahun 1914, Geuseppe amantea Guru Besar fisiologi manusia di Roma, banyak mengadakan penelitian tentang spermatozoatologi, dengan hewan percobaan anjing, burung merpati dan ayam. Kemudian dia berhasil membuat vagina buatan pertama untuk anjing. Berdasar penemuan ini banyak peneliti lain membuat vagina buatan untuk sapi, kuda dan domba. Tahun 1926, Roemelle membuat yang pertama kali membuat vagina buatan untuk sapi, dan orang pertama yang membuat vagina buatan untuk domba dan kambing adalah Fred F. Mckenzie (Amerika Serikat) pada tahun 1931. Pada tahun 1938 Prof. Enos J. Perry mendirikan koperasi IB pertama di Amerika Serikat yang terletak di New Jersey.
Kemajuan pesat dibidang IB, sangat dipercepat dengan adanya penemuan teknologi pembekuan semen sapi yang disposori oleh C. Polge, A.U. Smith dan A.S. Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka berhasil menyimpan semen untuk waktu panjang dengan membekukan sampai -79 0C dengan mengunakan CO2 pada (dry ice) sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet. Pembekuan ini disempurnakan lagi, dengan dipergunakannya nitrogen cair sebagai bahan pembeku, yang menghasilkan daya simpan yang lebih lama dan lebih praktis, dengan suhu penyimpanan -169 0C.
Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan di Indonesia
Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.
Pada tahun 1959 dan tahun-tahun berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB untuk daerah Bogor dan sekitranya dilakukan FKH IPB, masih mengikuti jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair umtuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Pada waktu itu belum terfikirkan untuk sapi potong. Menjelang tahun 1965, keungan negara sangat memburuk, karena situasi ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan, sehingga kegiatan IB hampir-hampir tidak ada. Stasiun IB yang telah didirikan di enam tempay dalam RKI, hanya Ungaran yang masih bertahan.
Inseminasi buatan telah pula digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB, di daerah Pengalengan, Bandung Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran pedet (Calf Show) pertama hasil IB. Kemajuan tersebut disebabkan adanya sarana penunjang di daerah tersebut yaitu 1) rakyat pemelihara sapi telah mengenal tanda-tanda berahi dengan baik, 2) rakyat telah tahu dengan pasti bahwa peningkatan mutu ternak melalui IB merupakan jalan yang sesingkat-singkatnya menuju produksi tinggi, 3) pengiriman semen cair dari Bogor ke Pengalengan dapat memenuhi permintaan, sehingga perbaikan mutu genetik ternak segera dapat terlihat.
Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian.
Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Semen beku yang digunkan selema ini merupakan pemberian gratis pemerintah Inggris dansSelandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur.
Untuk kerbau pernah pula dilakukan IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan IPB sebagai pelaksana dan Dirjen Peternakan sebagai sponsornya (1978). Namun perkembangannya kurang memuaskan karena dukungan sponsor yang kurang menunjang, disamping reproduksi kerbau belum banyak diketahui. IB pada kerbau pernah juga diperkenalakan di Tanah Toraja Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur.
Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan tahun 1974, menunjukan anka konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator, melainkan sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen, pengendalian penyakit.
B.       Tujuan, Keuntungan dan Kerugian Insemiasi Buatan
Yang dimaksud dengan Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (spermatozoa atau semen) yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut ‘insemination gun‘.
Tujuan Inseminasi Buatan
1.      Memperbaiki mutu genetika ternak
2.      Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya
3.      Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama
4.      Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur;
5.      Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin.
Keuntungan IB
1.      Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;
2.      Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik
3.      Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding);
4.      Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama
5.      Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah mati
6.      Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar
7.      Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.
Kerugian IB
1.      Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan terjadi terjadi kebuntingan
2.      Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada sapi betina keturunan / breed kecil
3.      Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding) apabila menggunakan semen beku dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama
4.      Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).
C.      Prinsip Dasar Inseminsi Buatan (IB)
Didalam applikasi teknologi inseminasi buatan maka faktor mutu genetik pejantan yang digunakan sangat penting untuk diperhatikan karena dari padanyalah sejumlah besar keturunan akan dihasilkan. Pejantan unggul dapat menghasilkan ± 25.000 ekor anak per tahun melalui penggunaan semen beku, sehingga selama hidup dari seekor pejantan unggul dapat diperoleh ± 150.000 ekor anak.
Beberapa kendala dihadapi apabila penggunaan semen beku, diantaranya tidak kontinyunya persediaan N ² Cair, untuk itu alternatif utamanya adalah dengan menggunakan semen cair. Teknik ini dapat diterapkan dengan memperhatikan beberapa persyaratan teknis sehingga applikasinya dapat di laksanakan dengan baik dan diperoleh hasil yang optimal.
Metode penampungan semen untuk dipergunakan dalam inseminasi buatan adalah mengupayakan agar pejantan bereyakulasi ke dalam vagina buatan, dan kemudian menampung semen ke dalam tabung berinsulasi untuk mencegah rusaknya spermatozoa karena perobahan suhu. Beberapa aspek tingkahlaku seksual pejantan perlu diperhatikan dalam penampungan semen seperti : latihan, persiapan menaiki, temperatur vagina buatan, lama eyakulasi, dan sifat individu pejantan.
Produksi semen pereyakulasi pada ternak sapi jantan biasanya 4 – 10 ml dan dapat ditampung 2 – 6 kali perminggu. Sesudah penampungan dan evaluasi semen, tindakan selanjutnya adalah pengenceran dengan menggunakan beberapa bahan pengenceran yang mengandung karbohidrat sebagai sumber energi, protein pelindung, dan antibiotik. Semen sapi dapat diencerkan 10 – 75 kali tergantung dari kualitas semen yang dihasilkan setiap eyakulasi.
Pada ternak sapi untuk pelaksanaan inseminasi buatan, didalam satu kali inseminasi hanya diperlukan 10 – 15 juta spermatozoa motil, sedangkan yang dihasilkan per satu kali eyakulasi adalah milliaran sperma. Sehingga dengan dosis inseminasi ini kita dapat menghitung berapa banyak betina yang dapat di inseminasi dari seekor pejantan.
Semen yang telah dipersiapkan dapat langsung di inseminasikan ke dalam cervix atau corpus uteri, dan untuk memperoleh kesuburan yang tinggi inseminasi harus dilakukan mendekati waktu ovulasi yakni pada paruh kedua fase birahi atau pada saat yang telah ditentukan apabila menggunakan program sinkronisasi birahi. Ketepatan waktu itu penting agar spermatozoa segar tersedia dan siap.
Teknologi IB menggunakan semen beku pada sapi potong telah digunakan sejak belasan tahun silam dengan tujuan untukmeningkatkan kualitas dan kuantitas ternak sapi melalui penggunaan pejantan pilihan dan menghindari penularan penyakit atau kawin sedarah.
Selama ini pelaksanaan teknologi IB di lapangan masih mengalami beberapa hambatan, antara lain S/C > 2 dan angka kebuntingan 60% (Affandhy 2006), sehingga untuk meningkatkan populasi dan mutu sapi potong serta guna memperluas penyebaran bakalan sapi potong, diperlukan suatu petunjuk praktis tentang manajemen IB mengunakan semen beku mulai dari penanganan ketika straw beku dalam kontener hingga akan disuntikan/Idi-IB-kan ke sapi induk, termasuk cara dan waktu IB; dengan harapan dapat memperbaiki manajemen perkawnan melalui pelaksanaan IB yang selama ini sering menimbulkan permasalahan di tingkat peternak maupun inseminator. Dengan adanya petunjuk tentang manajemen IB diharapkan dapat menambah tingkat keterampilan inseminator dan pengalaman peternak sehinggga tingkat kebuntingan ternak dapat dicapai secara optimal dan tahapan teknik ini perlu diinformasikan kepada pengguna seperti petani peternak, inseminator dan kelompok peternak.
D.    Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina
Dua kelas hormon yang dihasilkan oleh ovarium adalah estrogen dan progestin. Secara kimia estrogen dan progestin diklasifikasikan sebagai steroid dan memiliki kolesterol sebagai suatu bahan pembentuknya (Bearden,1984).
Estrogen yang memiliki suatu kelompok steroid dengan aktivitas fisiologis yang serupa, diproduksi oleh sel-sel spesifik dalam folikel graf. Kerja utama estrogen adalah menifestasi tingkah laku waktu kawin pada waktu estrus, perubahan-perubahan siklik pada alat reproduksi betina, perkembangan saluran pada kelenjar mammae, dan perkembangan sifat-sifat kelamin sekunder (Bearden,1984).
Progestrin terutama progesteron, adalah kelompok hormon lain dengan aktivita fisiologis yang serupa. Hormon-hormon ini diproduksi oleh korpus luteum. Fungsi utamanya adalah menghambat tingkah laku seksual, merawat kebuntingan dengan menghambat kontraksi uterus dan meningkatkan perkembangan kelenjar dalam endometrium, dan meningkatkan perkembangan alveoli kelenjar mammae (Bearden, 1984).
Kedua estrogen dan progesteron membantu mengatur pelepasan gonadotrophin, ang bekerja lewat hypotalamus dan hipofisis anterior. Kadar progesteron yang tinggi atau suatu kombinasi progesteron dan estrogen menghambat pelepasan FSH dan LH dari hypofisis anterior suatu kontrol umpan balik negatif ( negative feedback control ) (Bearden, 1984).
a.         GnRH dari hypotalamus merangsang pelepasan FSH dan LH dari hypofisis anterior.
b.         FSH merangsang produksi estradiol dan inhibin oleh sel-sel granulosa dalam folikel ovarium.
c.         Inhibin secara selectif menghambat pelepasan FSH.
d.        Ketika progesteron rendah, konsentrasi estradiol yang tinggi merangsang suatu lonjakan GnRH, FSH, LH yang lebih besar, suatu kontrol umpan balik positive.
e.         Lh merangsang produksi dan pelepasan progesteron oleh sel-sel granulosa dalam corpus luteum.
f.          Konsentrassi progesteron yang tinggi menghambat pelepasan GnRH, FSH, LH suatu kontrol umpan balik negative (Bearden, 1984)
Gonadrofin hipofisis, follicle- stimulating hormone ( FSH ) dan luteinizing hormone ( LH ) dihasilkan di bawah pengawasan “ releasing factor “ yang dikeluarkan oleh hipotalamus. FSH merangsang pertumbuhan folikel ovarium dan pembentukan estrogen. LH mempermudah pembentukan korpus luteum melalui diferensiasi sel sel granulosa yang tetap ada dalam folikel setelah mengeluarkan oosit. LH juga mempermudah ovulasi dan pematangan oosit.Estrogen menghambat sekresi FSH dan merangsang sekresi LH. Progesteron menghambat pembentukan LH. ( Junqueira, 1992 ).
Hormon – hormon reproduksi betina :
a.      FSH, merangsang perkembangan folikel
b.      Estrogen, merangsang endometrium untuk menebal, merangsang perkembangan cirri seks sekunder wanita, menekan pengeluaran FSH dan merangsang pengeluaran LH dari pituitary depan.
c.       LH adalah hormone yang bertanggungjawab terhadap pemasakan folikel dapat berkembang secara sempurna. Di bawah pengaruh LH, sisa folikel dalam ovarium diubah menjadi badan kuning atau korpus luteum yang setelah beberapa hari akan menghasilkan progesterone
d.      Progesteron, mempertahankan ketebalan endometrium dan perkembangan kelenjar susu. ( Isnaeni, 2006 )
Kerja umpan balik diantara gonadhotropin dan hormon-hormon steroid ovarium sangat diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan hormon yang essensial untuk reproduksi yang normal (Bearden, 1984)
Inhibin suatu hormon protein yang diproduksi oleh sel-sel granulosa dalam volikel ovarium secara selektif menghambat pelepasan FSH, namun bukan LH, dari hypofisis anterior membantu dalam mengatur FSH. Kerja inhibin ini mungkin bertanggung jawab atas pola pelepasan FSH dan LH yang tampaknya tidak konsisten dengan GnRH (Bearden, 1984)
Relaxin adalah suatu hormon polipeptid yang diproduksi oleh corpus luteum. Sedikit diketahui tentang mekanisme yang mengontrol produksinya, tetapi konsentrasi yang tinggi terlihat selama kebuntingan. Relaxin menyebabkan relaksasi ligamentum pelvis dan memperlunak jaringan ikat otot-otot uterus untuk menyediakan perluasan yang diperlukan untuk menampung fetus yang sedang tumbuh. Bekerja sama dengan estrogen, relaxin menyebabkan relaksasi pelvis dan pelunakan jaringat ikat servic lebih lanjut agar fetus dapat dikeluarkan pada waktu kelahiran (Bearden, 1984)
E.     Siklus Reproduksi (Estrus)
Berahi atau estrus atau heat, didefinisikan sebagai periode waktu dimana betina mau menerima kehadiran jantan, kawin, dengan perkataan lain betina atau dara aktif sexualitasnya. Dalam program perkawinan alami atau IB, seorang manager reproduksi ternak haru smampu mengenali tanda-tanda berahi dan factor-faktor yang mendorong berlangsungnya tingkah laku berahi yang normal. Kadar hormone estrogen yang tinggi mempunyai kaitan denga pemunculan tanda-tanda berahi, adapun pada dasrnya pemunculan tingkah laku berahi secara sempurna merupakan pengaruh interaksi antara estrogen dan indera, dalam hal ini terlibta satu gabungan inderan penciuman, pendengaran dan indera penglihatan. Indera perasa/sentuhan pun penting pada sapi betina yang melangsungkan perkawinan, melalui gigitan, jilatan, endusan merupakan bagian dari percumbuan sebelum kopulasi terjadi.
Pada umumnya, sapi betina induk adan dara enggan istirahat, aktif selama berahi. Sapi-sapi betina mempunyai sifat yang unik, dimana cenderung homosexual, sehingga memudahkan dalam deteksi berahi sekalipun tidak ada pejantan. Betina yang berahi akan menyendiri, menaiki temannya, bahkan mungkin juga menciumi vulva dan seringkali mengangkat dan mengibas-ibaskan dan mungkin meninggalkan kelompoknya mencari pejantanekornya.
Betina-betina yang berahi mempunyai vulva yang lembab, lender bening seringkali nampak keluar dari vulva. Betina yang dalam fase lain dalam siklus berahi bisa jadi menaiki betina lain, tetapi tidak mau jika dinaiki, oleh karena itu betina diam dinaiki merupakan tanda tunggal yang kuat bahwa betina dalam keadaan berahi.
Jika seekor betina memasuki siklus berahi, manakala betina tersebut dalam keadaan fertile, dimana betina ini berovulasi atau melepas sel telur dari ovariumnya. Waktu terbaik unatu menginseminasi dalah jika betina dalam keadaan standing heat, yaitu sebelum terjadi ovulasi.
Satu hal yang dianjurkan untuk mengadakan pendeteksian berahi adalah denga cara menempatkan sapi-sapi dara atau induk pada sebuah padang penggembalaan deteksi berahi. Padang penggembalaan ini seyogyanya cukup luas, memungkinkan betina-betina bisa kesana-kemasi dan bebas merumput, namun juga tidak terlalu luas, sehingga operator dapat mengadakan deteksi berahi dengan mudah.
Satu kunci sukses dalam deteksi berahi adalah lamanya waktu untuk mengamati betina-betina, memeriksa tanda-tanda berahi, adalah dianjurkan bagi operator meluangkan waktu selama minimal 30 menit pada pagi hari dan 30 menit pada sore hari. Operator juga dianjurkan memperhatikan betina-betina pada waktu-waktu yang sama setiap hari. Jadi, mempelajari mengenal tanda-tanda berahi dan mengetahuinya betina-betina yang sedang berahi merupakan kunci suksesnya satu program IB.
Mengenali tanda-tanda berahi
Tanda berahi yang paling terpercaya adalah betina diam berdiri ketika dinaiki pejantan atau oleh betina lainnya dalam sekawanan sapi. Keadaan ini disaebut sebagai standing heat, karena perilaku ini adalah bersifat aktivitas fisisk, maka baik sekali dapat diketahui secara visual.
Karena seorang peternak tidak mungkin mengamatai ternak-ternaknya selama 24 jam penuh dalam sehari semalam, 7 hari dalam seminggu, maka beberapa tanda berahi saja yang ditemukan untuk menentukan bahwa seekor betina dalam keadaan berahi.
Gambar : Tanda birahi pada sapi
Ekor diangkat. Adanya pangkal ekor yang diangkat merupak satu tanda bahwa seekor betina mungkin dalam keadaan berahi. Hal ini berarti bahwa seekor induk atau dara akan tetap diam berdiri membiarkan dinaiki, satu tanda dari standing heat.
Aktif, enggan istirahat. Betina tidak mau diam, nervous bisa menjadi satu tanda bahwa betina dalam keadaan berahi.
Vulva bengkak.  Salah satu dari beberapa tanda secara fisik yang bisa dikenali adalah vulva yang membengkak, sebagai akibat peningkatan aliran darah yang membesarkan pembuluh-pembuluh darah di daerah vulva. Vulva yang bengkak mudah dibedakan dengan vulva yang keriput sewaktu tidak dalam keadaan berahi.
Lendir bening.  Lendir bening keluar dari vulva, seringkali melekat pada ekor, bagian belakang dari kaki belakang atau bahkan ke atas punggung, juga menjadi salah satu tanda berahi. Lendir yang kemrahan pada ekor menunjukkan berahi muncul 1 atau 2 hari sebelumnya.
Alat bantu deteksi berahi.
Chinball marker. Dalam seawanan sapi dalam jumlah besar, penggunaan alat bantu ini atau jantan pengusik dapat juga membantu mengetahui betina-betina yang mengalami berahi. Chinball marker adalah sebuah alat Bantu berisi tinta yang dipasang di bawah rahang bawah atau mandibula.seekor pejantan yang divasectomi. Jika seekor pejantan dengan alat ini menaiki betina yang berahi, maka tinta akan menandai pada pinggul atau punggung betina tersebut, layaknya sebuah ball point.
Siklus estrus didefinisikan sebagai waktu diantara periode estrus. Rata-rata panjang atau lama estrus serupa untuk ternak, walaupun lebih pendek untuk domba. Panjang estrus kira-kira 17 hari intuk domba, 21 hari pada sapi, 22 hari untuk kuda, dan 20 hari untuk babi (Anonim,2004).
Periode siklus estrus adalah estrus, metestrus, diestrus, dan proestrus. Periode-periode ini di dalam satu pola yang berurutan dan siklik.
1.    Estrus
Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina reseptif terhadap jantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Lamanya periode estrus bervariasi antar spesies. Estrus berlangsung selama 12-18 jam pada sapi, 24-36 jam pada domba, 40-72 jam pada babi, dan 4-8 hari pada kuda. Ovulasi yang berkaitan dengan estrus terjadi 10-12 jam sesudah akhir estrus pada sapi, pertengahan sampai akhir estrus pada domba, kira-kira mid-estrus pada babi, dan 1-2 hari sebelum akhir estrus pada kuda (Bearden,1984).
2.    Metestrus
Periode metestrus dimulai dengan berhentinya estrus dan berlangsung kira-kira 3 hari. Terutama, hal ini merupakan suatu periode pembentukan corpus luteum.selama akhir estrus dan proestrus, konsentrasi estrogen ang tinggi meningkatkan vaskularisasi endometrium. Vaskularisasi ini mencapai puncaknya kira-kira 1 hari sesudah akhir estrus. Dengan menurunnya kadar estrogen, kerusakan kapiler dapat terjadi yang menghasilkan hilangnya sedikit darah (Bearden,1984).
3.    Diestrus
Diestrus dikarakteristikkan sebagai periode dalam siklus estrus ketika corpus luteum fungsional penuh. Pada sapi dimulai kira-kira hari ke-5 siklus, ketika suatu peningkatan konsentrasi progesteron dalam dalam darah dan dapat dideteksi pertama kali, dan berakhir dengan regresi corpus luteum pada hari 16 dan 17 (Bearden,1984).
4.    Proestrus
Proestrus dimulai dengan regresi corpus luteum dan merosotnya progesteron serta melajut sampai dimulai estrus. Ciri utama dari proestrus adalah terjadinya pertumbuhan folikel yang cepat. Akhir dari periode ini adalah pengaruh estrogen pada sistem saluran reproduksi dan gejala tingkah laku mendekati estrus dapat diamati (Bearden,1984).
F.       Kebuntingan
Secara garis besar ada dua indikasi dalam menentukan kebuntingan pada hewan betina yaitu :
1.      Indikasi kebuntingan secara eksternal
a.       lewat catatan/ recording
b.      adanya anestrus
c.       pembesaran abdomen sebelah kanan secara progresif
d.      berat badan yang meningkat
e.       adanya gerakan fetus
f.       gerakan sapi melambat
g.      bulunya mengkilat
h.      sapi menjadi lebih tenang temperamennya
i.        kelenjar air susu membesar secara progresif.
2.      Indikasi kebuntingan secara internal (Pemeriksaan per rektum).
Dapat dilakukan secara per rektum. Cara ini lebih mudah, praktis, murah dan cepat. Dapat dilakukan setelah 50-60 hari perkawinan. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya :
a.       perubahan pada kornu uteri
b.      adanya kantong amnion
c.       adanya pergelinciran selaput janin
d.      adanya fetus
e.       adanya plasentom dan fremitus
Indikasi kebuntingan secara eksternal jangan dijadikan patokan baku kebuntingan, karena beberapa hewan dapat memperlihatkan anomali walaupun memperlihatkan tanda tersebut. Diagnosa pasti kebuntingan hanya dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan per rektum.


























BAB III
METODE PRAKTEK

A.      Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktek inseminasi buatan yang dlaksanakan yaitu :
Waktu      :           Kamis-Jum’at, 24-25 juni 2010
Tempat     :           Pakkatto, Kab. Gowa

B.       Metode Praktek
Adapun metode praktek inseminsai buatan yang dilaksanakan yaitu dengan mengamati secara langsung proses pelaksanaan IB pada sapi Bali milik salah seorang peternak kemudian mewawancarai pihak dinas yang berperan sebagai inseminator.


















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Deskripsi Singkat Dinas Peternakan Kab. Gowa
Dinas Peternakan kab. Gowa merupakan salah satu dinas yang berada di kab. Gowa yang mengedepankan kualitas dan kuantitas serta kepercayaan masyarakat. Dinas peternakan Gowa begitu giat melaksanakan IB pada masyarakat karena memacu pada program kerja gubernur yakni sejuta ekor ternak dalam setahun
.
B.     Penyerentakan Birahi
Berdasarkan pada praktek yang dilakukan, sebelum ternak yangada di daerah pakkatto Kab. Gowa diinseminasikan maka terlebih dahulu dilakukan penyerentaka birahi dengan menyuntikan cairn Prostaglandin F2α sebanyak 5 ml.
Prostaglandin F2α (PGF2α) merupakan salah satu preparat yang sering digunakan untuk program penyerentakan birahi pada sapi melalui pengaruhnya dalam meregresi korpus lutem (Milvae et al. 1996). Penyuntikan PGF2α pada program penyerentakan birahi dilakukan dua kali dengan jarak 11 – 12 hari dan akan menimbulkan birahi pada sapi antara hari ke 2 – 7 dan puncaknya terjadi pada hari ke-3 setelah penyuntikan kedua (Mac Millan, 1983).
Prostaglandin F2α (PGF-2α) bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan corpus luteum (CL), mengakibatkan penghambatan yang dilakukan hormon progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin menjadi hilang. Akibat yang ditimbulkannya dalah terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel dalam ovarium. TOELIHERE (1995) menyatakan bahwa efek pemberian PGF-2α akan menurunkan level progesteron dan akan memberikan rebound effect terhadap pelepasan hormon gonadotropin (FSH = follicle stimulating hormone dan LH = luteinizing hormone).
Penyuntikan PGF-2α dapat saja dilakukan satu kali asalkan dilakukan pada fase luteal dari siklus berahi. MACMILLAN et al. (1991) mengatakan penyuntikan PGF-2α untuk menyerentakan berahi dapat dilakukan satu kali secara intramuskuler pada fase luteal dan hasilnya tidak berbeda dibandingkan dua kali selang 11 hari. Berhubung harga PGF-2α untuk satu dosis penyuntikan secara intramuskuler cukup mahal bagi para peternak di Indonesia, maka diupayakan pemberiannya secara intrauterin yang membutuhkan hanya ¼ sampai 1/5 dari dosis untuk injeksi secara intramuskuler (TOELIHERE, 1995).
Cara pemberian PGF-2α secara intrauterin dilakukan memakai kateter uterin yang disambung dengan spuit yang berisi PGF-2α (1/5 dosis intramuskuler) dan kateter uterin dimasukkan sebagaimana layaknya melakukan inseminasi dan menyemprotkan hormonnya (PGF-2α) ke dalam corpus uteri. PGF-2α akan diserap ke dalam darah memasuki ovarium dan meruntuhkan corpus luteum (CL) dalam waktu ± 2 hari.

C.    Teknik Inseminasi Buatan Pada Ternak
Teknologi IB menggunakan semen beku pada sapi potong telah digunakan sejak belasan tahun silam dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak sapi melalui penggunaan pejantan pilihan dan menghindari penularan penyakit atau kawin sedarah.
Peningkatan produktivitas ternak merupakan suatu usaha yang mutlak harus dilakukan untuk menambah populasi demi memenuhi kebutuhan akan protein hewani yang semakin meningkat. Produktivitas ternak secara umum menyangkut berbagai aspek. seperti produksi daging. telur. dan susu. Dari aspek reproduksi peningkatan reproduktivitas adalah merupakan suatu hal yang sangat diperlukan.
Tahapan teknik manajemen IB dengan menggunakan semen beku yang perlu dilakukan meliputi: (1) penanganan semen beku dalam kontener, (2) cara thawing dan waktu IB dan (3) pelaksanan IB di lapang.
a.    Penanganan semen beku dalam kontainer
Penanganan semen beku dalam kontener merupakan suatu faktor yang sangat penting guna mencegah kematian sperma atau mencegah kualitas straw tetap baik dan bisa digunakan untuk IB pada sapi induk. Manajemen straw beku ketika dalam kontener meliputi:
·           Semen beku di dalam kontener harus selalu terisi N2 cair dan straw terendam dalam N2 cair tersebut yang jaraknya minimal > 15 cm dari dasar kontener;
·           Setiap seminggu sekali dilakukan pengecekan N2 cair dalam kontener dengan cara memasukkan penggaris plastik warna hitam atau kayu ke dalam kontener yang langsung diangkat, sehingga akan nampak bekas N2 berwarna putih pada penggaris (Affandhy, 2006).
·           Pengambilan straw dalam kontener tidak boleh melebihi tinggi leher kontener dan hindarkan sinar matahari langsung ketika mengambil straw dari dalam kontener (Booth by and Fahey, 1995).
·           Straw beku setelah dithawing diharapkan tidak perlu dikembalikan ke dalam kontener lagi karena kualitas akan menurun dan mengalami kematian sperma.
Gambar : Cara pemindahan Straw beku

b.        Pencairan kembali (thawing) dan waktu IB
Salah satu keberhasilan kebuntingan sapi induk yang diinseminasi (kawin suntik) selain kualitas semen adalah faktor thawing dan waktu IB. Cara dan pelaksanaan thawing dan waktu IB yang tepat untuk semen beku yang kemungkinan besar dapat berhasil dengan baik adalah Merendam straw yang berisi semen beku ke dalam air hangat suhu 37,5 oC dalam waktu 25-30 detik atau dapat pula menggunakan air sumur atau air ledeng pada suhu 25-30 ºC selama kurang dari satu menit memperoleh nilai PTM > 40 % (Affandhy ,2006).
c.         Persiapan Petugas (Inseminator)
1.        Guntinglah kuku jari-jari tangan (terutama yang sebelah kiri) sampai pendek. Haluskan ujungnya menggunakan kikir.
2.        Periksa apakah ada luka di lengan kiri atau tidak. Kalau ada luka, siapkan sarung tangan plastik panjang.
3.        Yakinkan bahwa sapi betina yang sedang berahi tersebut tidak sedang bunting dan betul-betul berahi. Lihat catatan perkawinan ternak tersebut dan lihat pula tanda-tanda aksteriornya, terutama bagian vulvanya. Sapi betina yang sedang berahi vulvanya tampak membengkak, basah, berwarna merah, dan mengeluarkan lendir jernih kental. Temperamennya agak gelisah tetapi tenang ketika tubuhnya diusap-usap.
d.      Pelaksanaan Kerja
1.      Kenakan werkpack dan sepatu kandang
2.      Tempatkan sapi betina yang sedang berahi pada kandang kawin. Ikat dengan baik.
3.      Singsingkan lengan baju sebelah kiri. Apabila ada luka, kenakan sarung tangan plastik.
4.      Lumuri tangan kiri sampai batas sikut dengan larutan busa sabun.
5.      Hampiri sapi betina dari arah depan atau samping lalu sentuh/tepuk bagian tubuhnya supaya ternak tersebut mengetahui keberadaan kita dan tidak kaget sewaktu kita mulai bekerja.
6.      Berdiri menghadap bagian belakang sapi dari arah belakang dengan posisi menyerong ke sebelah kanan sekitar 30o – 45o dari poros tubuh sapi. Kaki kiri berada sekitar ¾ langkah di depan kaki kanan sehingga membentuk kuda-kuda yang kokoh tetapi luwes.
7.      Tepuk-tepuk bagian bokong sapi (sedikit di bagian atas ekor) kiri dan kanan untuk melihat reaksi kaki belakang sapi tersebut.
8.      Pegang pangkal ekor sapi dengan tangan kanan, bengkokan ke arah kanan.
9.      Pertemukan kelima jari tangan kiri sehingga membentuk kerucut, kemudian masukkan ke dalam lubang anus (rektum) sapi sampai pergelangan tangan melewatinya. Apabila di dalam rongga rectum terdapat banyak kotoran, keluarkan.
10.  Setelah merasa bahwa tangan kiri dapat leluasa berada di ruang rectum, arahkan telapak tangan kiri tersebut ke dasar rectum. Cari bagian saluran reproduksi yang berdinding tebal, yaitu cervix uteri. Tempatkan cervix uteri tersebut dalam genggaman telapak tangan kiri dengan jalan menyodokkan empat jari (telunjuk sampai kelingking) ke bawah cervix uteri.
11.  Setelah cervix uteri teraba, telusuri saluran reproduksi bagian depannya, apakah tanduk uterus kiri dan kanan sama besar atau salah satu lebih besar dari yang lain. Apabila salah satu lebih besar dari yang lain, hewan tersebut kemungkinan sedang bunting dan jangan diinseminasi. Apabila kedua tanduk uterus sama besar, maka hewan tersebut tidak bunting dan perlu diinseminasi. Keluarkan tangan kiri dari dalam rectum. Lepaskan sarung tangan atau bersihkan taangan kiri tersebut dengan air.
 
Gambar : Cara keluarkan feses dan IB
12.  Siapkan insemination gun. Lepaskan bagian penusuknya dari batang utama. Usap batang penusuk dan batang utama dengan kapas.
13.  Masukkan batang penusuk ke dalam batang utama. Sisakan kirakira sepanjang straw.
14.  Buka penutup container nitrogen cair dan angkat satu canister.
15.  Ambil satu straw menggunakan pinset dan segera kembalikan posisi canister.
16.  Rendam straw dalam air suam-suam kuku sambil digosok-gosok dengan kedua telapak tangan. Angkat dan keringkan menggunakan kertas tissue.
17.  Masukkan straw ke dalam lubang, dari ujung depan, batang utama insemination gun, sampai mentok.
18.  Gunting ujung straw pada batas kira-kira ½ cm dari ujung insemination gun. Tutup/bungkus batang insemination gun dengan plastic sheet, dan kuatkan pertautannya menggunakan cincin yang sudah tersedia. Inseminasi siap dilakukan.
19.  Lumuri lagi tangan kiri dengan larutan kanji encer atau busa sabun, masukkan ke dalam rectum dan lakukan penggenggaman cervix uteri. Setelah cervix uteri tergenggam, masukkan insemination gun secara hati-hati ke dalam vagina sapi betina. Arahkan ujung insemination gun ke mulut saluran cervix.
20.  Luruskan arah insemination gun melewati saluran cervix dengan bantuan tangan kiri menggerak-gerakan cervix dan tangan kanan mendorong insemination gun secara hati-hati sampai ujung insemination gun melewati seluruh panjang saluran cervix. Hentikan dorongan tangan kanan ketika ujung insemination gun sudah keluar dari servix uteri (memasuki corpus uteri) kira-kira 1–2 cm.
21.  Curahkan semen perlahan-lahan dengan jalan mendorong batang penusuk insemination gun sampai habis. Pencurahan semen selesai. Insemination gun ditarik keluar vagina dan tangan kiri melakukan sedikit pijatan pada corpus dan cervix uteri untuk merangsang gerakan saluran reproduksi sapi betina agar semen terdorong ke bagian depan saluran reproduksi betina.
Gambar : Cara pasang dan masukkan gun
22.  Keluarkan tangan kiri dari dalam rectum. Lepaskan plastic sheet dan straw kosong dari insemination gun, buang ke tempat sampah. Bersihkan insemination gun menggunakan kapas beralkohol. Cabut batang penusuknya, lalu tetekan alkohol ke dalam lubang batang utama. Simpan kembali ke tempatnya.
23.  Catat dalam buku kerja inseminator kegiatan tersebut dan pada buku catatan reproduksi sapi betina yang bersangkutan. Informasi yang harus dicatat adalah : Tanggal pelaksanaan inseminasi, Nomor register ternak betina, Perkawinan ke berapa bagi ternak betina tersebut dan Nomor pejantan dan kode produksi semen.

D.    Kebuntingan
Kebuntingan merupakan proses dimana suatu ternak telah memiliki zigot ataupun embrio yang kemudian berkembang menjadi fetus. Peristiwa ini terjadi sesudah proses fertilisasi dan penyatuan ke dua inti dari spermatozoa dan ovum, dan diakhiri dengan proses kelahiran.
Menurut teori yang diperoleh bahwa suatu ternak sapi betina dinyatakan bunting ketika 21 hari setelah inseminasi buatan dilakukan, ternak tersbut tidak mengalami lagi birahi maka ternak tersebut telah bunting dan inseminasi buatan yang dilakukan berhasil. Begitupun sebaliknya jika 21 hari setelah inseminsai ternak tersebut masih menunjukan gejala birahi, maka ternak tersebut tidak bunting dan inseminsai yang dilakukan tidak berhasil
Faktor - faktor yang menyebabkan rendahnya prosentase kebuntingan adalah :
a.         Fertilitas dan kualitas mani beku yang jelek / rendah
b.         Inseminator kurang / tidak terampil.
c.         Petani / peternak tidak / kurang terampil mendeteksi birahi.
d.        Pelaporan yang terlambat dan / atau pelayanan Inseminator yang lamban.
e.         Kemungkinan adanya gangguan reproduksi / kesehatan sapi betina.
Jelaslah disini bahwa faktor yang paling penting adalah mendeteksi birahi, karena tanda-tanda birahi sering terjadi pada malam hari. Oleh karena itu petani diharapkan dapat memonitor kejadian birahi dengan baik dengan cara mencatat siklus birahi semua sapi betinanya (dara dan dewasa) serta petugas IB harus mensosialisasikan cara-cara mendeteksi tanda-tanda birah
Kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu dari birahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah :
a.       permulaan birahi : 44%
b.      pertengahan birahi : 82%
c.       akhir birahi : 75%
d.      6 jam sesudah birahi             : 62,5%
e.       12 jam sesudah birahi           : 32,5%
f.       18 jam sesudah birahi           : 28%
g.      24 jam sesudah birahi           : 12%
Proses awal dari kebuntingan ini adalah fertilisasi yakni pembuahan antara ovum dan spermatozoa, yang selanjutnya berlanjut hingga penyatuan inti sel diantara keduanya. Selama beberapa hari ovum yang telah dibuahi disebut sebagai zigot atau embrio yang hidup bebas di dalam oviduct (tuba fallopii) atau uterus induk. Pada saat embrio tersebut mencapai uterus, sel tunggal ini akan mengalami pembelahan sel selama beberapa kali tanpa pertambahan volume sitoplasma, proses pembelahan sel tanpa pertumbuhan ini disebut cleavage (Luqman, 1999).



BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Inseminasi Buatan sebagai alat yang efektif untuk memperbaiki mutu genetik dan meningkatkan populasi ternak, masih memerlukan penanganan dan perhatian yang serius pada ternak kerbau, karena adanya fenomena kesulitan mendeteksi berahi yang berkaitan dengan adanya fenomena silent heat (berahi tenang) dan rendahnya kualitas semen beku pasca thawing. Untuk mengoptimalkan program IB pada ternak kerbau sehingga efisiensi reproduksinya meningkat, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:
1.     Melakukan program sinkronisasi berahi dengan menggunakan hormon seperti PGF-2α yang dilakukan sebanyak dua kali selang 11-12 hari (injeksi intramuskuler) atau penyisipan CIDR atau PRID (mengandung hormon progesteron) selama 11-12 hari.
2.     Thawing semen beku sebaiknya dilakukan dengan menggunakan air pada suhu 37oC dalam waktu 15-30 detik.
3.     Waktu inseminasi sebaiknya dilakukan 12-16 jam sesudah munculnya gejala berahi atau 8-9 jam sebelum akhir berahi dengan peletakan semen pada pangkal corpus uteri (cincin 4).
4.     Proses penanganan semen beku (pengeluaran dari container, thawing sampai diinseminasikan) tidak boleh lewat dari 2,5 menit.

B.     Saran
Adapun saran yang dapat diberikan terkait dengan praktek IB yang dilaksanakan yaitu sebaiknya peternak lebih jujur dalam memberitahukan waktu ternaknya birahi sehingga palpasi rectal/ kebuntingan lebih tinggi.





DAFTAR PUSTAKA
Affandhy, L., W. Pratiwi, D. Pamungkas, D.B. Wijono P.W. Prihandini, dan P. Situmorang 2006. Peningkatan produktivitas sapi potong melalui efisiensi reproduksi. Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong.
Bearden, HJ and Fuquay JW, 1984. Applied Animal Reproduction. 2ndEdition. Reston Publishing Company, Inc. A Prentice-Hall Company. Reston. Virginia.
Hafez ESE, 1993. Reproduction in Farm Animai. 6th Edition. Lea and Febiger. Philadelpia
Ismudiono. 1999. Fisiologi Reproduksi Ternak. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Mac Millan, K. L. 1983. Prostaglandin Response in Dairy Herd Breeding Programs. J. Vet. 31: 110-113.
Moreira, F., De la Sota, R.I., Diaz, T., and Thatcher, W.W. 2000. Effect of Day of the estrous Cycle at the Inisiation of a Timed Artificial Insemination Protocol on Reproductive Responses in Dairy Heifers. J. Anim. Sci. 78:1568-1576
Salisbury, G.W dan N.L. Vandemark, 1985, Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Sapi, diterjemahkan R. Djanuar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Toelihere MR, 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
—————–, 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.




it's me

it's me
chalik in the bloger