Ilmu Peteranakan

cHaLiK

Senin, 01 Maret 2010

Laporan Praktikum Usaha Tani

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak. Kemitraan adalah kerja sama antarpelaku agribisnis mulai dari proses praproduksi, produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan dan menguntungkan bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.
Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
Berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, Soehadji dalam Anggraini (2003) mengklasifikasikan usaha peternakan menjadi empat kelompok, yaitu: 1) peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan komoditas pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga (subsisten) dengan tingkat pendapatan usaha dari peternakan < 30%,2) peternakan sebagai cabang usaha, yaitu peternak mengusahakan pertanian campuran dengan ternak dan tingkat pendapatan dari usaha ternak mencapai 30−70%,3) peternakan sebagai usaha pokok, yaitu peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dengan tingkat pendapatan berkisar antara 70−100%, dan 4) peternakan sebagai industri dengan mengusahakan ternak secara khusus (specialized farming) dan tingkat pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100%.
Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan. Untuk mencapai efisiensi usaha yang tinggi, diperlukan pengelolaan usaha secara terintegrasi dari hulu hingga hilir serta berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan, sehingga dapat memberikan keuntungan yang layak secara berkelanjutan.


B. RUMUSAN MASALAH


BAB II
HASIL PENGAMATAN

A. GAMBARAN UMUM WILAYAH
Adapun gambaran umum wilayah Kab. Enrekang yaitu topografi wilayahnya berupa gunung-gunung dan cuaca disana cocok untuk peternakan sapi potong. Adapun juga poin utama yang membuat pternakan sapi potong berhasil di Kab. Enrekang yaitu karena sumber air yang cukup memadai.
Praktek lapang mata kuliah Ilmu Usaha Tani ini dilaksanakan di Dusun Talaga Kelurahan Juppandang kabupaten Enrekang.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjaga agar ternak nyaman sehingga dapat mencapai produksi yang optimal, yaitu Persyaratan secara umum :
a. Ada sumber air atau sumur
b. Ada gudang makanan atau rumput atau hijauan
c. Jauh dari daerah hunian masyarakat
d. Terdapat lahan untuk bangunan dengan luas yang memadai dan berventilasi.

B. KONDISI PETERNAK & TERNAK
a. Peternak
Adapun kondisi peternak sapi potong di Kab. Enrekang yaitu para peternak dengan giat merawat terknak mereka dengan memberikan pakan secara teratur, membersihkan kandang, dan menyediakan air minum untuk ternak. Peternak sapi potong di Enrekang menyediakan pakan bagi ternak dengan mengambil rumput dari lahan atau padang rumput yang merka miliki dan tidak jarang pula rumput mereka datangkan dari lahan milik masyarakat yang lain.
peternak yang ada di peternakan sapi potong kab> Enrekang yang kami kunjungi yaitu berjumlah 12 orang pekerja.
b. Ternak
Adapun kondisi ternak yang dipelihara di Peternakan rakyat tersebut yaitu, ternak betina yang sudah siap bereproduksi itu tidak dilakukan lagi perkawinan alam melainkan menggunakan teknologi Inseminasi Buatan untuk menambah populasi ternak. Ternak potong yang dipelihara adalah dominan sapi bali dan yang lainnya itu sapi hasil persilangan antara dua jenis sapi.

C. SISTEM PEMELIHARAAN
System pemeliharaan sapi potong di Kab Enrekang yaitu sapi potong dikandangkan dan tidak sesekalipun di gembalakan. Ternak hanya berada dalam kandang dan masalah pakan para peternak lah yang berusaha mencari pakan untuk ternak. Hal ini bisa membuat ternak menjadi empuk dagingnya karna tidak terlalu sering beraktivitas/tidak banyak bergerak.
Setiap pagi bilamana sapi sudah dikeluarkan, maka kotoran dalam kandang dibersihkan bersama-sama sisa makanan diangkut dan ditimbun pada tempat yang telah disediakan, untuk kemudian dijadikan pupuk, sedang bekas-bekas urine disiram dengan abu dari api unggun. Tentang tempat makanan untuk ternak petani di Kab Enrkang tidak membutuhkan perlengkapan, oleh karena makanan yang diberikan adalah rumput, daun-daunan dan jerami, tidak pernah dan jarang sekali diberikan makanan konsetrat, kecuali sapi-sapi yang digemukkan. Makanan cukup diletakkan di tanah, bila perlu dibatasi dengan palang-palang dari bambu atau kayu.
Peternakan sapi potong yang berpotensi menghasilkan sapi-sapi yang berkualitas tergantung pada pemeliharaan terutama pemberian pakannya. Pakan merupakan salah satu unsur yang penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak, sehingga perlu adanya perhatian dalam tatalaksana pemeliharaan sapi potong. Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli Indonesia dan sapi yang diimpor. Dari jenis-jenis sapi potong itu, masing-masing mempunyai sifat-sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luarnya (ukuran tubuh, warna bulu) maupun dari genetiknya (laju pertumbuhan). Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole) dan sapi Madura.
a. Perkandangan
Kandang berfungsi tidak hanya sekedar sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan, tetapi juga sebagai tempat istirahat yang nyaman bagi sapi. Ukuran kandang pada kandang individu setiap sapi menempati tempatnya sendiri berukuran 2,5 X 1,5 m. pada kandang kelompok 10 – 20m untuk 5 – 10 ekor sapi Persyaratan teknis yang diperlukan dalam pembuatan kandang antara lain : Kontruksi Kandang, Atap Kandang, Dinding Kandang, Lantai Kandang.
1. Kontruksi Kandang
Konstruksi kandang sapi seperti rumah kayu. Atap kandang berbentuk kuncup dan salah satu/kedua sisinya miring. Lantai kandang dibuat padat, lebih tinggi dari pada tanah sekelilingnya dan agak miring kearah selokan di luar kandang. Maksudnya adalah agar air yang tampak, termasuk kencing
sapi mudah mengalir ke luar lantai kandang tetap kering.
Bahan konstruksi kandang adalah kayu gelondongan/papan yang berasal
dari kayu yang kuat. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat, tetapi agak
terbuka agar sirkulasi udara didalamnya lancar.
Termasuk dalam rangkaian penyediaan pakan sapi adalah air minum yang bersih. Air minum diberikan secara ad libitum, artinya harus tersedia dan tidak boleh kehabisan setiap saat.
Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang. Pembuatan kandang sapi dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah/ladang.
2. Ukuran Kandang
Sebelum membuat kandang sebaiknya diperhitungkan lebih dulu jumlah sapi yang akan dipelihara. Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5 x 2 m. Sedangkan untuk seekor sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m dan untuk seekor anak sapi cukup 1,5×1 m.
3. Perlengkapan Kandang
Termasuk dalam perlengkapan kandang adalah tempat pakan dan minum, yang sebaiknya dibuat di luar kandang, tetapi masih dibawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak/ tercampur kotoran. Tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi dari pada permukaan lantai.
Dengan demikian kotoran dan air kencing tidak tercampur didalamnya. Perlengkapan lain yang perlu disediakan adalah sapu, sikat, sekop, sabit, dan tempat untuk memandikan sapi. Semua peralatan tersebut adalah untuk membersihkan kandang agar sapi terhindar dari gangguan penyakit sekaligus bisa dipakai untuk memandikan sapi.
b. Pakan
Jenis pakan. Pakan yang diberikan adalah hijauan 10% BB dan konsentrat 2 % BB dengan perbandingan 25 % (hijauan): 75 % (konsentrat) total pakan yang diberikan. Frekuensi pemberian pakan. Frekuensi pemberian dilakukan 2 kali yaitu pagi dan sore. Pemberian pakan perlu mempertimbangkan terlebih dahulu nutrien yang dibutuhkan sapi untuk hidup pokok dan PBB yang diharapkan Rumput atau campuran rumput dan leguminosa diberikan dengan perbandingan 10 bagian leguminosa.

BAB III
PEMBAHASAN

A. PERANAN DAN MANFAAT SAPI POTONG
Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah (Isbandi 2004; Rosida 2006; Direktorat Jenderal Peternakan 2007; Syadzali 2007; Nurfitri 2008; Santi 2008). Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa 2005; Mersyah 2005; Suwandi 2005).
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sapi potong adalah dengan mendatangkan sapi dari Eropa (Bos taurus) seperti Limousine, Simmetal, dan Brahman. Di Jawa, sapi-sapi tersebut banyak yang dikawinsilangkan (crossing) dengan sapi Peranakan Ongole (PO) yang menghasilkan sapi PO vs Limousine (Talib 2001; Kuswaryan et al. 2004; Rianto et al. 2005).
Alasan pentingnya peningkatan populasi sapi potong dalam upaya mencapai swasembada daging antara lain adalah: 1) subsektor peternakan berpotensi sebagai sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian, 2) rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan terus bertambah, 3) tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian regional, dan 4) mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai penyedia bahan pangan maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan (Kariyasa 2005). Sapi potong juga mempunyai fungsi sosial yang penting di masyarakat selain fungsinya sebagai penghasil daging (Sumadi et al. 2004; Syadzali 2007), pupuk, sebagai tenaga kerja terutama dalam pengolahan tanah (Bamualim 1988; Hastono 1998), serta memberi manfaat berupa anak dan status sosial (Isbandi 2004; Roessali et al. 2005). Oleh karena itu, potensi sapi potong perlu dikembangkan, terutama untuk meningkatkan kontribusinya dalam penyediaan daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat (Mersyah 2005; Rosida 2006, Ferdiman 2007; Nurfitri 2008).

B. POLA USAHA PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG
1. Pembibitan dan Penggemukan
Potensi sapi potong lokal sebagai penghasil daging belum dimanfaatkan secara optimal melalui perbaikan manajemen pemeliharaan. Sapi lokal memiliki beberapa kelebihan, yaitu daya adaptasinya tinggi terhadap lingkungan setempat, mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, dan mempunyai daya reproduksi yang baik.
Sistem pemeliharaan sapi potong di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu: intensif, ekstensif, dan usaha campuran (mixed farming). Pada pemeliharaan secara intensif, sapi dikandangkan secara terus-menerus atau hanya dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak digembalakan. Cara beternak seperti inilah yang dipakai para peternak sapi potong di kab. Enrekang.
Pola pemeliharaan sapi secara intensif banyak dilakukan petanipeternak di Jawa, Madura, dan Bali. Pada pemeliharaan ekstensif, ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan. Pola tersebut banyak dilakukan peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi (Sugeng 2006). Dari kedua cara pemeliharaan tersebut, sebagian besar merupakan usaha rakyat dengan ciri skala usaha rumah tangga dan kepemilikan ternak sedikit, menggunakan teknologi sederhana, bersifat padat karya, dan berbasis azas organisasi kekeluargaan (Azis dalam Yusdja dan Ilham 2004).
Berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, Soehadji dalam Anggraini (2003) mengklasifikasikan usaha peternakan menjadi empat kelompok, yaitu:
- peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan komoditas pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga (subsisten) dengan tingkat pendapatan usaha dari peternakan < 30%.
- peternakan sebagai cabang usaha, yaitu peternak mengusahakan pertanian campuran dengan ternak dan tingkat pendapatan dari usaha ternak mencapai 30−70%.
- peternakan sebagai usaha pokok, yaitu peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dengan tingkat pendapatan berkisar antara 70−100%.
- peternakan sebagai industri dengan mengusahakan ternak secara khusus (specialized farming) dan tingkat pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100%. Usaha peternakan komersial umumnya dilakukan oleh peternak yang memiliki modal besar serta menerapkan teknologi modern (Mubyarto dalam Anggraini 2003).
Usaha peternakan memerlukan modal yang besar, terutama untuk pengadaan pakan dan bibit. Biaya yang besar ini sulit dipenuhi oleh peternak pada umumnya yang memiliki keterbatasan modal (Hadi dan Ilham 2000).
Pola usaha penggemukan sapi potong oleh masyarakat pedesaan sebagian masih bersifat tradisional. Menurut Ferdiman (2007), penggemukan sapi potong dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sistem kereman, dry lot fattening, dan pasture fattening. Pakan yang digunakan dalam penggemukan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan diberikan 10% dari bobot badan, konsentrat 1% dari bobot badan, dan air minum 20−30 l/ekor/hari. Dalam sistem ini, sapi muda (umur 1,50−2 tahun) dipelihara secara terus-menerus di dalam kandang dalam waktu tertentu untuk meningkatkan volume dan mutu daging dalam waktu relatif singkat (Ahmad et al. 2004; Ferdiman 2007). Berdasarkan umur sapi yang akan digemukkan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga (Sugeng 2006), yaitu: 1) untuk sapi bakalan dengan umur kurang dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 8−9 bulan, 2) untuk sapi bakalan umur 1−2 tahun, lama penggemukan 6−7 bulan, dan 3) untuk sapi bakalan umur 2−2,50 tahun, lama penggemukan 4−6 bulan. Hasil pengkajian usaha penggemukan sapi potong dengan sistem kereman selama 5 bulan dengan menggunakan teknologi introduksi, berupa perbaikan komposisi pakan dan penanggulangan penyakit, mampu meningkatkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali dari 296,90 g menjadi 528 g/ekor/hari. Untuk sapi PO, rata-rata PBBH meningkat dari 381 g menjadi 697 g/ekor/hari. Pendapatan dari penggemukan sapi bali juga meningkat dari Rp291.525 menjadi Rp532.450/ekor/5 bulan, sementara pada usaha penggemukan sapi PO, pendapatan meningkat dari Rp346.500 menjadi Rp667.375/ekor/5 bulan (Ahmad et al. 2004).
2. Peluang Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong di Enrekang
Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu: 1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi, 2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes, 3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi, dan 4) dapat membuka lapangan pekerjaan.
Kata seorang pemilik atau pengelola usaha ternaka sapi potong di Kab. Enrekang, mengatakan bahwa “Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan suatu peluang untuk pengembangan usaha budi daya ternak, terutama sapi potong”. Belum terpenuhinya kebutuhan daging di Indonesia, khususnya di Kab. Enrekang, hal inilah yang membuat usaha ternaka sapi potong terus dikembangkan.
Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan usaha pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat modal dan berskala besar, meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi siap potong (Yusdja dan Ilham 2004).
Upaya pengembangan sapi potong telah lama dilakukan oleh pemerintah. Nasoetion dalam Winarso et al. (2005) menyatakan bahwa dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan pembinaan usaha, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan, dan pemasaran. Menurut Isbandi (2004), penyuluhan dan pembinaan terhadap petani-peternak dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional menjadi usaha ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik yang baik. Zooteknik tersebut termasuk sapta usaha beternak sapi potong, yang meliputi penggunaan bibit unggul, perkandangan yang sehat, penyediaan dan pemberian pakan yang cukup nutrien, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi, pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik.

C. ANALISIS USAHA PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG KAB. ENREKANG
Perkiraan analisis budidaya sapi potong setahun di Enrekang skala 25 ekor pada tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1. Biaya Produksi
a. Pembelian 25 ekor bakalan : 25 x 250 kg x Rp. 7.800,- Rp. 48.750.000,-
b. Kandang Rp. 1.000.000,-
c. Pakan
- Hijauan: 25 x 35 kg x Rp.37,50 x 365 hari Rp. 12.000.000,-
- Konsentrat: 25 x 2kg x Rp. 410,- x 365 hari Rp. 7.482.500,-
d. Retribusi kesehatan ternak: 25 x Rp. 3.000,- Rp. 75.000,-
Jumlah biaya produksi Rp. 69.307.500,-
2. Pendapatan
a. Penjualan sapi potong
Tambahan berat badan: 25 x 365 x 0,8 kg = 7.300 kg
Berat sapi setelah setahun: (25 x 250 kg) + 7.300 kg = 13.550 kg
Harga jual sapi hidup: Rp. 8.200,-/kg x 13.550 kg Rp. 111.110.000,-
b. Penjualan kotoran basah: 25 x 365 x 10 kg x Rp. 12,- Rp. 1.095.000,-
Jumlah pendapatan Rp. 112.205.000,-
3. Keuntungan
Tanpa memperhitungkan biaya tenaga internal keuntungan Penggemukan 25 ekor sapi selama setahun. Rp. 42.897.500,-
4. Parameter kelayakan usaha
B/C ratio = 1,61

Gambaran Peluang Agribisnis
Sapi potong mempunyai potensi ekonomi yang tinggi baik sebagai ternak potong maupun ternak bibit. Selama ini sapi potong dapat mempunyai kebutuhan daging untuk lokal seperti rumah tangga, hotel, restoran, industri pengolahan, perdagangan antar pulau. Pasaran utamanya adalah kota-kota besar.
Konsumen akhir, atau disebut konsumen rumah tangga adalah pembeli-pembeli yang membeli untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individunya. Golongan ini mencakup porsi yang paling besar dalam konsumsi daging, diperkirakan mencapai 98% dari konsumsi total.
Mereka ini dapat dikelompokkan lagi ke dalam ova sub segmen yaitu :
1. Konsumen dalam negeri ( Golongan menengah keatas )
Segmen ini merupakan segmen terbesar yang kebutuhan dagingnya kebanyakan dipenuhi dari pasokan dalam negeri yang masih belum memperhatikan kualitas tertentu sebagai persyaratan kesehatan maupun selera.
2. Konsumen asing
Konsumen asing yang mencakup keluarga-keluarga diplomat, karyawan perusahaan dan sebagian pelancong seperti turis yang berkunjung ketemapat wisata yang ada di Enrekang dan Tana Toraja ini porsinya relatif kecil dan tidak signifikan. Di samping itu juga kemungkinan terdapat konsumen manca negara yang selama ini belum terjangkau oleh pemasok dalam negeri, artinya ekspor belum dilakukan/jika dilakukan porsinya tidak signifikan.

Konsumen Industri
Konsumen industri merupakan pembeli-pembeli yang menggunakan daging untuk diolah kembali menjadi produk lain dan dijual lagi guna mendapatkan laba. Konsumen ini terutama meliputi: hotel dan restauran dan yang jumlahnya semakin meningkat

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN

B. SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu Untuk meningkatkan peran sapi potong sebagai sumber pemasok daging dan pendapatan peternak, disarankan untuk menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif dengan perbaikan manajemen pakan, peningkatan kualitas bibit yang disertai pengontrolan terhadap penyakit. Perbaikan reproduksi dilakukan dengan IB dan penyapihan dini pedet untuk mempersingkat jarak beranak. Untuk memperbaiki mutu genetik, sapi bakalan betina diupayakan tidak keluar dari daerah pengembangan untuk selanjutnyadijadikan induk melalui grading up.










DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S.N., D.D. Siswansyah, dan O.K.S. Swastika. 2004. Kajian sistem usaha ternak sapi potong di Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7(2): 155−170.

Anggraini, W. 2003. Analisis Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat Berdasarkan Biaya Produksi dan Tingkat Pendapatan Peternakan Menurut Skala Usaha (Kasus di Kecamatan Were Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Ayuni, N. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan dan Pengembangan Ternak Sapi Potong Berdasarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten
Agam, Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2000. Peluang pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potong di Indonesia dalam rangka swasembada daging. Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis Penyediaan Bibit Nasional dan Revitalisasi UPT TA 2000. Jakarta, 11−12 Juli 2000.

Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta. Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4): 148− 157.

it's me

it's me
chalik in the bloger