Ilmu Peteranakan

cHaLiK

Kamis, 02 Agustus 2012

Idul Fitri dan Dialog Kemanusiaan

Di penghujung bulan Ramadhan, kaum muslim merayakan hari raya ‘Idul Fitri. Pada saat itu, mereka biasanya bersalam-salaman sebagai pertanda saling memaafkan antara satu dengan yang lain. Bertandang ke rumah saudara atau tetangga merupakan tradisi yang turut menyemarakkan hari raya. Tradisi inilah yang menyebabkan orang-orang kota mudik, kembali ke kampung halamannya.

Sekalipun harus berjejalan selama perjalanan pulang, hal itu sama sekali tidak menghambat orang-orang kota untuk mudik. Wajah lelah, bermandikan keringat (terutama di kereta atau bus ekonomi) memang jelas terlihat, namun di balik itu ada keceriaan. Maklum, mereka yakin akan disambut hangat oleh suasana kampung yang damai dan harmonis.
Demikianlah, kaum muslim begitu antusias menyambut Idul Fitri. Hanya saja terbertik pertanyaan, apakah betul hari besar Islam itu hanya cukup dirayakan dengan memakai baju, celana, sarung yang serba baru.
Kalau betul demikian, tampaknya kaum muslim perlu memahami kembali apa makna ‘Idul Fitri. ‘Idul Fitri ditinjau dari sudut bahasa berarti kembali ke fitrah. Pengertian ini mengandaikan bahwa manusia harus kembali kepada asal muasal keberadaaannya, kembali kepada Sang Penciptanya dalam keadaan bersih. Seperti diketahui, asal muasal manusia ibarat sehelai kertas putih, bersih tanpa noda. Kesucian menandai seluruh dimensi hidupnya baik raga maupun jiwanya. Kullu mauludin yuuladu ‘ala al-fitrah, demikian bunyi hadits nabi Muhammad SAWW.
‘Idul fitri selain sebagai upaya penyucian diri juga mengandaikan pengertian yang lebih luas. Pertama, kesadaran memahami kesalahan-kesalahan yang telah manusia perbuat baik terhadap sesama maupun terhadap Sang Pencipta.
Kedua, komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut. Komitmen ini tentu tidak hanya dipegang pada saat gema takbir mengalun di masjid atau di lapangan sebagai pertanda hari raya dirayakan. Tapi justru yang lebih penting, bagaimana pada hari-hari berikutnya manusia tetap konsisten pada komitmen tersebut, bahkan kalau bisa terus berupaya memperbaiki diri.
Ketiga, kesediaan memberikan maaf bagi mereka yang pernah berbuat salah kepada kita. Bahkan sekalipun mereka tidak minta maaf. Kesediaan ini juga harus disertai ketulusan yang dalam sehingga manusia tidak lagi terbelit oleh perasaaan dendam, dengki atau prasangka buruk lainnya.
Berpijak pada pengertian ini, hari raya ‘Idul fitri merupakan momentum yang sangat tepat melakukan refleksi diri, merenungi perjalanan hidup yang telah manusia lalui. Nah, kalau demikian, alangkah hampanya jika seseorang merayakan hari besar Islam ini hanya dengan menggunakan pakaian baru, tanpa disertai keinginan yang kuat untuk membersihkan noktah-noktah hitam yang ada dalam jiwa.
Pengertian ini pun membuka ruang bagi upaya mendekatkan diri dengan Tuhan. Bukankah menyadari kesalahan sekaligus meminta ampun kepada Tuhan pada saat hari raya ‘Idul fitri merupakan awal yang baik ketika insan hendak memperdekat jarak dengan Sang Khalik.
Kecuali itu, sisi menjalin hubungan horizontal antar sesama juga bisa dipetik dari pemahaman yang benar tentang ‘Idul Fitri. Mengucapkan taqobalallahu minna waminkum dan minal ‘aidin wal faizin disertai salam-salaman merupakan sebuah pertemuan yang menuntut adanya ketulusan menyadari kesalahan masing-masing. Dan pertemuan semacam ini bisa dijadikan sebagai spirit memulai dialog kemanusiaan.
Dalam hal ini, manusia tidak bisa lagi menutup diri. Merasa diri sebagai satu entitas paling hebat sebagaimana ras Arya Jerman harus ditiadakan. Di samping karena cenderung menihilkan orang lain, juga karena perasaan semacam ini menyebabkan sikap egois gampang muncul.
Bersamaan dengan itu, manusia harus membuka “dialog lintas batas” baik agama, ideologi maupun etnis. Seseorang atau kelompok, apapun agama yang dipeluk, harus dihormati. Seseorang atau kelompok, apapun ideologi yang dianut, tidak boleh dibenci. Seseorang atau kelompok apapun etnisnya harus diperlakukan sama.
Kaum muslim, dengan demikian, tidak boleh hanya sekadar memaafkan sesama mereka yang Islam. Kaum muslim perlu membuka pintu maaf bagi semua orang sekalipun jelas berbeda agamanya, ideologinya dan etnisnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

peternakan
inseminasi
pakan ternak

it's me

it's me
chalik in the bloger