Di penghujung bulan
Ramadhan, kaum muslim merayakan hari raya ‘Idul Fitri. Pada saat itu, mereka
biasanya bersalam-salaman sebagai pertanda saling memaafkan antara satu dengan
yang lain. Bertandang ke rumah saudara atau tetangga merupakan tradisi yang
turut menyemarakkan hari raya. Tradisi inilah yang menyebabkan orang-orang kota mudik, kembali ke
kampung halamannya.
Sekalipun harus
berjejalan selama perjalanan pulang, hal itu sama sekali tidak menghambat
orang-orang kota
untuk mudik. Wajah lelah, bermandikan keringat (terutama di kereta atau bus
ekonomi) memang jelas terlihat, namun di balik itu ada keceriaan. Maklum,
mereka yakin akan disambut hangat oleh suasana kampung yang damai dan harmonis.
Demikianlah, kaum
muslim begitu antusias menyambut Idul Fitri. Hanya saja terbertik pertanyaan,
apakah betul hari besar Islam itu hanya cukup dirayakan dengan memakai baju,
celana, sarung yang serba baru.
Kalau betul
demikian, tampaknya kaum muslim perlu memahami kembali apa makna ‘Idul Fitri.
‘Idul Fitri ditinjau dari sudut bahasa berarti kembali ke fitrah. Pengertian
ini mengandaikan bahwa manusia harus kembali kepada asal muasal keberadaaannya,
kembali kepada Sang Penciptanya dalam keadaan bersih. Seperti diketahui, asal
muasal manusia ibarat sehelai kertas putih, bersih tanpa noda. Kesucian
menandai seluruh dimensi hidupnya baik raga maupun jiwanya. Kullu mauludin
yuuladu ‘ala al-fitrah, demikian bunyi hadits nabi Muhammad SAWW.
‘Idul fitri selain
sebagai upaya penyucian diri juga mengandaikan pengertian yang lebih luas.
Pertama, kesadaran memahami kesalahan-kesalahan yang telah manusia perbuat baik
terhadap sesama maupun terhadap Sang Pencipta.
Kedua, komitmen
untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut. Komitmen ini tentu tidak
hanya dipegang pada saat gema takbir mengalun di masjid atau di lapangan
sebagai pertanda hari raya dirayakan. Tapi justru yang lebih penting, bagaimana
pada hari-hari berikutnya manusia tetap konsisten pada komitmen tersebut,
bahkan kalau bisa terus berupaya memperbaiki diri.
Ketiga, kesediaan
memberikan maaf bagi mereka yang pernah berbuat salah kepada kita. Bahkan
sekalipun mereka tidak minta maaf. Kesediaan ini juga harus disertai ketulusan
yang dalam sehingga manusia tidak lagi terbelit oleh perasaaan dendam, dengki
atau prasangka buruk lainnya.
Berpijak pada
pengertian ini, hari raya ‘Idul fitri merupakan momentum yang sangat tepat
melakukan refleksi diri, merenungi perjalanan hidup yang telah manusia lalui.
Nah, kalau demikian, alangkah hampanya jika seseorang merayakan hari besar
Islam ini hanya dengan menggunakan pakaian baru, tanpa disertai keinginan yang
kuat untuk membersihkan noktah-noktah hitam yang ada dalam jiwa.
Pengertian ini pun
membuka ruang bagi upaya mendekatkan diri dengan Tuhan. Bukankah menyadari
kesalahan sekaligus meminta ampun kepada Tuhan pada saat hari raya ‘Idul fitri
merupakan awal yang baik ketika insan hendak memperdekat jarak dengan Sang
Khalik.
Kecuali itu, sisi
menjalin hubungan horizontal antar sesama juga bisa dipetik dari pemahaman yang
benar tentang ‘Idul Fitri. Mengucapkan taqobalallahu minna waminkum dan minal
‘aidin wal faizin disertai salam-salaman merupakan sebuah pertemuan yang
menuntut adanya ketulusan menyadari kesalahan masing-masing. Dan pertemuan semacam
ini bisa dijadikan sebagai spirit memulai dialog kemanusiaan.
Dalam hal ini,
manusia tidak bisa lagi menutup diri. Merasa diri sebagai satu entitas paling
hebat sebagaimana ras Arya Jerman harus ditiadakan. Di samping karena cenderung
menihilkan orang lain, juga karena perasaan semacam ini menyebabkan sikap egois
gampang muncul.
Bersamaan dengan
itu, manusia harus membuka “dialog lintas batas” baik agama, ideologi maupun
etnis. Seseorang atau kelompok, apapun agama yang dipeluk, harus dihormati.
Seseorang atau kelompok, apapun ideologi yang dianut, tidak boleh dibenci.
Seseorang atau kelompok apapun etnisnya harus diperlakukan sama.
Kaum
muslim, dengan demikian, tidak boleh hanya sekadar memaafkan sesama mereka yang
Islam. Kaum muslim perlu membuka pintu maaf bagi semua orang sekalipun jelas
berbeda agamanya, ideologinya dan etnisnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
peternakan
inseminasi
pakan ternak